Rabu, 28 Mei 2014

RESUME ALIRAN-ALIRAN LINGUISTIK

Judul Buku : ALIRAN-ALIRAN LINGUISTIK
Pengarang   : Abd. Syukur Ibrahim dkk.
Penerbit      : Usaha Nasional Surabaya-Indonesia

PEMBUKAAN : ABAD XIX
Pada sekitar tahun 1900-an merupakan titik tolak perubahan dalam sejarah linguistik modern. Secara garis besar linguistik pada waktu itu baik yang berada di Eropa maupun yang berada di Amerika masing-masing berdiri sendiri, serta mengalihkan orientasinya sehingga karya-karya linguistik pada waktu itu berbeda jauh dibandingkan sekarang.
Perubahan orientasi yang terjadi pada waktu itu adalah perubahan dari linguistik historis ke linguistik sinkronis.
·         Linguistik historis (diakronis atau filologi) medominasi penelitian linguistik pada abad XIX yaitu tentang penelitian sejarah bahasa, pencarian hubungan yang ada di antara bahasa-bahasa tersebut, dan perekonstruksian bahasa-bahasa proto yang telah menurunkan bahasa-bahasa yang ada sampai sekarang ini.
·         Linguistik sinkronis, orientasi kajian bahasa berfokus pada analisis bahasa sebagai komunikasi yang terdapat dalam masa tertentu tanpa memperhatikan kesejarahannya.
Perubahan perhatian dari filologi klasik ke linguistik mula-mula terjadi di Jerman dan memang selama abad XIX linguistic merupakan sasaran atau obyek bahasa Jerman. Kemudian kajian linguistik bahasa Indo-Eropa (dalam bahasa Jerman disebut Indogermanisch) maju dengan baik bersama-sama dengan gerakan intelektual dan artistik Jerman pada abad XVIII akhir sampai pertengahan abad XIX yang disebut romantisme.
Ahli filsafat modern tentang ilmu, yaitu Thomas Khun (1962) telah menciptakan istilah istilah paradigma untuk menyatakan bagaimana dalam waktu tertentu berpikir tentang suatu masalah banyak dipengaruhi oleh sistem ide-ide koherensi yang bertindak bukan sebagai ajaran teori ilmiah yang disebutkan secara eksplesit, melainkan sebagai asumsi yang tidak tersurat (implisit) tentang rentangan hipotesis yang dapat digunakan oleh ilmuan.
Dalam abad XIX ada dua paradigma ilmiah yang terkenal :
  • Fisika mekanis : segala gejala dapat dideskripsikan dalam hukum kekuatan dan gerak yang sederhana dan tertentu (deterministik).
  • Teori biologi : mengenai evolusi yang melalui seleksi alamiah yang muncul dai minat yang tinggi dalam sejarah alam selama abad XVIII dan abad XIX.
Istilah lautgesetz (hukum bunyi) pertama kali digunakan oleh Franz Bopp pada tahun 1824. Bopp juga menjelaskan apa yang disebut penjelasan mekanis, yaitu pergantian antara vokal-vokal yang berbeda dalam paradigma morfologis yang masih terlihat dengan jelas dalam konjugasi kata kerja bahasa Inggris seperti “sing-song-sung” dengan menggunakan atau memakai “hukum gaya berat” sehubungan dengan berat relatif dari suku kata yang berbeda.
Pemecahan oleh para ahli bahasa abad XIX ialah menganggap bahasa sebagai tatanan alamiah setaraf dengan tanaman dan hewan. Oleh karena itu Bopp (1827:1) menyatakan :
Bahasa harus dianggap sebagai badan organis (organische naturkorper) yang terbentuk sesuai dengan hukum, di dalamnya lengkap dengan prinsip-prinsip dalam kehidupan yang berkembang dan berangsur-angsur mati, setelah tidak lagi dapat dipakai dengan sendirinya lalu terbuang, terputus, atau salah pakai komponen atau bentuk-bentuk yang sebenarnya penting tapi lama-lama menjadi tambahan-tambahan yang tidak berarti.
  • Pendapat yang serupa dinyatakan oleh August Pott beberapa tahun kemudian (1833 : XXVII) :
Bahasa ialah suatu perubahan keadaan yang konstan selama hidupnya, seperti setiap bentuk organ (organische Naturgegenstand), mempunyai masa berbiak dan masak, masa perkembangan maju dan surut, masa permulaan, mundur, dan hilang secara berangsur-angsur.
  • Pada awal abad XIX, sarjana-sarjana seperti Friedrich von Schlegel (1808: 28) dan Jacob Grimm (1819: XII) menyatakan bahwa disiplin ilmu yang dekat hubungannya dengan ilmu Tatabahasa Komparatif ialah Anatomi Komparatif.
Sejak 1000 tahun yang lalu, pendekatan historis merupakan pendekatan umum dalam studi bahasa. Linguistik historis tampak sebagai ilmu yang berada di tapal batas dimana kemajuan-kemajuan ilmiah yang baru baru berpijak di atasnya. Ketika abad XIX hampir berakhir, karena beberapa hal, harapan-harapan tersebut tidak dapat terpenuhi. Masalahnya ialah berhubungan dengan keterarahan terhadap perubahan.
Pengertian bahwa bentuk-bentuk kehidupan yang berbeda menempati kedudukan yang berbeda dalam tingkatan perkembangan tentu saja merupakan cirri yang murni teori Darwin tentang keturunan dengan modifikasi pengertian tersebut telah dikenal sejak Aristoteles, sebagai doktrin filosofis dan teologis tentang rantai panjang makhluk yaitu suatu konsep yang sangat berpengaruh pada abad XVIII. (Lovejoy, 1936).
Rask (1818: 35-36) berpendapat bahwa bahasa makin sederhana selama dalam kurun waktu. Bahasa yang memiliki tatabahasa yang sangat lengkap adalah bahasa yang paling murni, paling asli, tertua, dan paling dekat dengan sumbernya, karena infleksi dan akhiran dalam tatabahasa terbuang dalam perkembangan menjadi bahasa yang baru, karena untuk itu diperlukan waktu yang lama, penyesuaian dengan penuturnya, berubah dan tersusun kembali. Karena itulah bahasa Denmark lebih sederhana daripada bahasa Islandia, bahasa Inggris lebih sederhana daripada bahasa Anglo Saxon, bahasa Yunani modern lebih sederhana daripada bahasa Yunani klasik, bahasa Italia terhadap bahasa Latin, bahasa Jerman terhadap bahasa Goth, dan kasus-kasus lain yang serupa.
fakta  tentang kasus-kasus yang dikemukakan di atas memang benar, tapi tidak jelas apakah pendapat Rask tersebut dimaksudkan sebagai hipotesis yang kuat tentang kasus-kasus perubahan bahasa yang mungkin terjadi dari pernyataan “berubah dan tersusun kembali” di atas menunjukkan adanya kasus-kasus perubahan bahasa menuju arah yang lebih kompleks. Bahasa dapat digolongkan menjadi sejumlah tipe yang lebih kecil :
  • Bahasa isolasi (isolating languages), dimana masing-masing kata dalam bahasa itu terdiri dari satu akar kata yang tidak berubah. Misalnya: bahasa Cina dan Vietnam).

  • Bahasa aglutinasi (agglutinating languages), dimana kata-kata dalam bahasa itu terdiri dari akar kata dan imbuhan, tapi pemisahan antara akar dan imbuhannya cukup jelas. Misalnya: bahasa Turki kata sevisdrirlmek berarti “dijadikan mencintai satu sama lain”. Sev: cinta, -is-:berbalasan, -dir-: kausatif, -il-: pasif, dan -mek- : infinitive atau akar kata.
  • Bahasa berinfleksi (inflecting languages), misalnya bahasa Sanskerta, Yunani Kuno, Latin, dan bahasa-bahasa lain yang menurut Rask dianggap cukup kompleks dimana suatu kata tunggal di dalam bahasa itu memiliki sejumlah satuan arti, namun tidak dapat digunakan untuk membedakan bagian-bagian dari seluruh kata. Jadi kata sim dalam bahasa latin misalnya adalah bentuk kata kerja “to be”, tapi kata tersebut tidak dipisah-pisahkan sehingga mempunyai arti untuk “be” “subjunctive”, untuk waktu “present” dan sebagainya.
August Schlegel membagi bahasa fleksi menjadi dua bagian yaitu bahasa sintesis dan analisis. Yang pertama adalah bahasa infleksi dalam arti yang sepenuhnya, sedangkan yang kedua meliputi sifat-sifat dari bahasa isolasi (preposisi pada tempat akhiran, kata ganti subyek pada tempat konjugasi kata kerja).
Alasan August von Schlegel menggunakan istilah analisis dan bukan menyatakan bahwa bahasa-bahasa Roman pindah dari tipe infleksi ke tipe isolasi ialah bersifat lebih aksiomatis karena unsur dari ketiga tipe tadi merupakan bagian dari inti yang tidak berubah dari persediaan bahasa (language stock), sehingga tidak ada satu pun bahasa yang berasal dari bahasa Latin dapat terpisah.
Lyell mengungkapkan pandangannya tentang doktrin keseragaman (uniformitarian) yaitu bahwa perubahan yang dibuatkan oleh bukti-bukti geologis dihasilkan dari proses yang sama yang dapat kita amati yang terjadi pada masa kita ini.




Scherer berpendapat tentang keseragaman (uniformitarian) dalam linguistik :
Kita tidak dapat menutup mata lebih lama lagi untuk menyadari bahwa perbedaan antara evolusi dan pelapukan, atau antara alam dengan sejarah bahasa, mengarah pada jalan yang salah. Untuk saya, saya hanya mengamati masalah evolusi dan sejarah.
Pada waktu itu para ahli bahasa mengambil pendekatan metodologi yang umum bahwa harus diperlakukan menurut keadaan psikologis individu penutur, dan tidak menurut Sprachgeist yang memiliki semacam eksistensi di atas dan di bawah individu yang selanjutnya harus diperhatikan bukti-bukti empiris yang mengarah kepenolakan terhadap pandangan yang mereka tantang.
Herman Osthoff dan Karl Brugman berkeyakinan :
Bahwa bahasa bukanlah suatu barang, yang berada di luar dan di atas manusia dan memiliki jalan sendiri, tapi eksistensi yang sebenarnya berada pada diri masing-masing individu manusia, sehingga perubahan yang terjadi padanya hanya karena individu itu sendiri.
Herman Paul, dalam buku Prinzipien der Sprachgeschichte menyatakan :
Semua proses fisik terjadi pada pikiran masing-masing individu dan tidak pada tempat lain. Bukan pula pikiran bangsa (Volkgeist) maupun unsur-unsur pikiran bangsa seperti seni, agama, dan sebagainya, yang memiliki eksisitensi yang konkrit, sehingga tak sesuatu pun yang terjadi di dalamnya atau diantaranya.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa bukanlah suatu teori linguistik yang diperlukan dengan observasi data yang kaku, melainkan tentang perubahan secara umum dalam konsepsi sifat-sifat gejala sosial. Bagi Herman Paul linguistic adalah ilmu sejarah, dan bukan sains.



Bagi Schleicher, bahasa dapat disamakan dengan suatu spesies dalam biologi sehingga suatu idiolek dalam bahasa dapat disamakan dengan suatu anggota dari spesies tadi. Beberapa sarjana (terutama, seperti Hugo Schuchardt, yang banyak menangani bahasa Romans daripada bahasa Jermania) membantah bahwa perubahan bunyi tidak harus dijelaskan dengan hukum, tapi berdasarkan cita rasa atau mode dalam wicara, dengan kesimpulan bahwa perubahan semacam itu akan tersebar  dimana-mana pada setiap pewicara dan kata demi kata, perubahan seperti ini bukan perubahan tiba-tiba melalui badan . tetapi, walaupun pandangan ini tampaknya dapat dipercaya secara apriori yang digunakan oleh aliran neolinguis dari italia, pendapat tersebut tidak pernah mendapat perhatian yang serius dari para ahli bahasa historis Jerman ataupun Amerika.
Teori substrata bila sekelompok orang menggunakan suatu bahasa baru (misalnya dari penakluknya), mereka akan mengucapkan ucapan yang baru. Misalnya perubahan vokal yang besar-besaran dalam bahasa inggris yang terjadi antara abad XV dan abad XVIII (rangkaian perubahan bunyi yang menyebabkan adanya ucapan vokal bahasa Inggris modern bertentangan dengan yang terdapat dalam bahasa Eropa Daratan), yang dapat dijelaskan dengan teori substrata.
Grimm menjelaskan hukum yang menggunakan namanya menurut psikologi bahasa Jerman: Dari suatu sudut, bagi saya perubahan bunyi seperti kebiadaban dan ketidakmampuan pada peradaban, yang dihindari oleh bangsa-bangsa yang hidup damai, tapi berhubungan dengan kemajuan dan perjuangan yang besar dari bangsa jerman untuk kebebasan yang memberi warna bagi abad pertengahan dan yang menuju ke perubahan di Eropa (1848 : 417). Kekaisaran Romawi kehilangan kekuatannya setelah akhir abad pertama dan bangsa jerman yang tak terkalahkan menjadi makin sadar akan ketidakmampuannya untuk menaklukkan Eropa. Bagaimana mobilisasi sekuat itu dapat gagal untuk mengingatkan bahasanya pada waktu yang sama, mendesaknya dari kebiasaan lamanya? Tidaklah terdapat kebanggaan dalam menggunakan bunyi stop tak bersuara dari yang bersuara dan bunyi frikatif dari bunyi stop tak bersuara? (1848 : 437).


Banyak para ahli yang semasa dengan grimm dapat menerima penjelasan ini, yang kadang-kadang masih dapat ditemukan pernyataan serupa itu sekarang, tapi sebagian besar para ahli tidak sependapat. Sebagian dari perubahan-perubahan yang sama yang menurut Grimm dianggap sebagai gejala keberanian dan kekuatun dibahas oleh Karl Mullenhoff yang menyatakan bahwa perubahan tersebut adalah kemalasan atau kelemahan, sedang penelitian berikutnya menyatakan tidak ada korelasi empiris antara perubahan bunyi tertentu dengan cirri-ciri psikologi yang tertentu pula.
SAUSSURE : BAHASA SEBAGAI FAKTA
Menjelang akhir abad XIX, rupanya semuanya tampak baik untuk waktu itu, dan sebagian masih tetap meyakinkan untuk masa sekarang, persamaan bahasa dengan biologi telah banyak ditolak. Hal ini menimbulkan kesulitan pemahaman bahasa sebagai suatu disiplin akademis. Analogi linguistik terhadap individu biologi adalah idiolek, dan ini hampir semua, bila keseluruhannya, sama seperti abstraksi dari konsep yang luas tentang bahasa.
Mongin Ferdinand de Saussure, nama lengkapnya, dilahirkan di Jenewa pada tahun 1857, anak keluarga kaum Huguenot yang pindah dari Lorraine selama perang agama di Perancis akhir abad XVI. Dia adalah orang yang menjawab pertanyaan “Bagaimanakah pengertian wujud yang disebut bahasa atau dialek yang mendasari realita yang dapat dirasakan daripada ujaran-ujaran tertentu. Saussure mendapat didikan sebagai ahli bahasa kuno, dan berhasil ketika masih berusia muda menerbitkan buku yang berjudul Memoire sur lesysteme primitif des voyelles dans les langues indo-europeennes (1878). Buku tersebut merupakan salah satu dasar rekonstruksi bahasa Proto Indo-Eropa.
Pada akhir tahun 1906 ia diminta untuk mengambil alih tanggungjawab dalam memberikan kuliah tentang linguistik umum dan sejarah serta perbandingan bahasa-bahasa Indo-Eropa dari seorang sarjana yang telah berhenti dari dinasnya selama 30 tahun. Setelah Saussure meninggal tanpa pernah menerbitkan bahan teori yang ia ajarkan saat kuliah, ada dus orang rekannya, Charles Bally dan Albert Sechehaye memutuskan untuk menyusun bahan-bahan tadi dari catatan kuliah yang ditinggalkan Saussure. Buku yang mereka hasilkan yaitu berjudul Cours de linguistique gererale (Saussure 1916) merupakan suatu media yang dapat digunakan oleh sarjana di dunia untuk memahami pemikiran Saussure, dan karena dokumen inilah Saussure dikenal sebagai bapak ahli linguistik abad XX.
Jenis penerbitan linguistik yang banyak dikenal oleh mahasiswa Saussure adalah suatu ide yang menganalisis suatu bentuk atau suatu rentangan bentuk yang terdapat dalam suatu bahasa dengan menelusuri tingkatan yang melalui tingkatan itu bahasa-bahasa tersebut mencapai keadaan seperti yang ada sekarang.
Orang yang mendeskripsikan bahasa dari luar, dari pihak pengamat, dapat menggunakan pendekatan diakronis ataupun sinkronis, tapi bagi yang memandangnya dari dalam, seperti yang dilakukan oleh pemakainy, harus mendeskripsikan sebagai etat de langue yaitu suatu kondisi bahasa dengan tidak ada pengembangan menurut dimensi waktu. Linguistik historis sangat sederhana, bahkan kejadia kebahasaan yang satu dapat terpisah dari yang lain. Sebaliknya, linguistik sinkronis lebih serius dalam membahas peristiwa kebahasaan, karena tidak menyajikan peristiwa-peristiwa yang terpisah, kejadian kebahasaan dapat merupakan etat de langue yang sudah lengkap dengan sendirinya ataupun tidak sama sekali.
Yang dimaksudkan oleh Saussure dengan etat de langue untuk menyebut linguistik sinkronis yang sistematis ialah demikian. Kita ibaratkan permainan catur dan kita pertimbangkan masalah untuk menggambarkan posisi permainan yang terjadi. Bila kita ingin melihat letak buah catur dan situasi pituasi pemain secara analitis, kita tidak akan melihat biji-biji caturnya secara terpisah. Raja pihak hitam dapat saja berada pada posisi yang baik bagi pihak hitam, tapi bagi pihak putih mungkin sukar atau tidak menguntungkan. Oleh karena itu, nilai buah catur yang ada pada saat itu tergantung pada peranannya terhadap buah catur yang lain, memindahkan satu biji tidak hanya mengubah potensi biji itu saja melainkan menentukan seluruh rangkaian hubungan antar biji yang ada. Hal yang sama terjadi juga dalam bahasa.
Suatu bahasa terdiri dari satu perangkat tanda, yang masing-masing merupakan kesatuan dari significant (penanda atau bagian bunyi ujaran) dengan signifie (tertanda atau bagian arti); masing-masing tanda tersebut tidak dapat dipisahkan, karena ucapan ataupun artinya ditentukan oleh perbedaan dengan tanda-tanda di dalam sistemnya. Tanpa sistem yang ada dalam suatu bahasa, kita tidak mempunyai landasan untuk membicarakan bunyi atau konsep.
Alasan Saussure berpendapat bahwa linguistik diakronis tidak memiliki ciri sistematis ini ialah ia membuat bahasa faktual mengenai  teknik deskriptif daripada linguistik historis yang diketahuinya. Menurut linguistik historis, misalnya bunyi [ a ] berubah menjadi bunyi [ e ] dalam bahasa X dalam masa tertentu, para ahli linguistik historis tidak mementingkan apakah bahasa X tersebut telah memiliki bunyi [ e ] tadi sebelumnya. Masalah ini bagi Saussure dianggap penting. Bila sebelumnya tidak ada bunyi [ e ], maka yang terjadi ialah salah satu bunyi bahasa X itu telah berubah ucapannya, yang akhirnya menyebabkan perubahan sama sekali.
Saussure mempunyai pendapat perubahan bunyi secara historis dalam suatu pengertian bahwa itu merupakan sistem yang secara intrinsik berdiri sendiri. Suatu bentuk perubahan yang sering terjadi ialah hilangnya konsonan dalam posisi akhir. Sebagai contoh, dua perubahan dalam bahasa Inggris: dalam satu hal ada penghilangan bunyi labiodental frikatif  /f v/ pada posisi akhir. Beberapa kelompok kata (misalnya leaf, leave, lee) akhirnya dapat menjadi homofon, tapi sebagian besar ambigu yang terjadi dapat dicari penyelesaiannya menurut konteksnya dan tampaknya perubahan itu tidak menyebabkan perubahan lain dalam sistemnya.
Wujud suatu bahasa menurut Saussure adalah contoh suatu wujud yang menurut para ahli sosiologi tertentu disebut “fakta-fakta sosial.” Emile Durkheim merupakan pendiri sosiologi sebagai suatu cabang ilmu yang bersifat empiris. Durkheim mengemukakan istilah “fakta sosial” itu dalam bukunya Rules of Sociological Method (1895). Menurut dia, tugas sosiologi adalah mempelajari dan mendeskripsikan suatu kelompok fenomena yang berbeda sama sekali baik terhadap fenomena dunia secara fisik maupun fenomena yang berhubungan dengan psikologi walaupun sama kenyataannya seperti kategori fenomena yang lain. Menurut Durkheim, fakta-fakta sosial adalah gagasan-gagasan dalam kesadaran kolektif dari suatu masyarakat. Kesadaran kolektif suatu masyarakat adalah sesuta yang terdapat di luar diri masing-masing anggota masyarakat, dan ide-idenya tercermin secara tidak langsung dalam pemikiran orang-orang yang membentuk masyarakat itu.
Data yang dapat diamati oleh ahli bahasa jelas merupakan gejala fisik , urutan bunyi, huruf-huruf yang tertulis, dan lain-lain. Tetapi kita harus membedakan antara fakta fisik yang dapat diamati atau dirasakan, yang oleh Saussure disebut parole dan sistem yang umum yang disebut langue. Data konkrit untuk parole dihasilkan oleh setiap individu pewicara, tetapi bahasa tidak akan sempurna dalam kolektivitas.
Dalam satu hal mungkin judul buku ini: Schools of linguistics kurang cocok dalam hubungannya dengan isi bab ini, karena Saussure bukanlah bapak aliran linguistik diantara sekian banyak aliran, dengan melihat makna linguistik sinkronis sebagai suatu sistem yang unsure-unsurnya ditentukan oleh perbedaan-perbedaan, tentunya benar kalau kita mengatakan bahwa kita sekarang adalah pengikut Saussure. Paling tidak orang membantah bahwa pengaruh Saussure hanya kuat di Eropa saja daripada di Amerika. Karena itulah mengapa ahli bahasa Amerika yang lain yang lebih banyak tertarik dengan masalah hubungan sintagmatik (cara-cara unit linguistik dapat digantungkan menjadi bentukan yang lebih panjang), sedangkan ahli bahasa dari Eropa memusatkan perhatiannya pada hubungan paradigmatik (yaitu hubungan antara unsur-unsur yang dapat menggantikan kedudukan yang lain dari “slot” yang sama dalam suatu susunan linguistik). Pendapat Saussure bahwa suatu unsur linguistik bergantung pada unsur lain, yang perbedaannya memaksa seseorang untuk memikirkan hubungan paradigmatiknya; kata highhandedness berbeda dengan arrogance hanya karena satu kata saja yang dapat menggantikan tempat kosong dari lingkungannya dalam kalimat I don’t like his (dimana sebaliknya, kata high-hendedness dan never tidak dapat menggantikan satu dengan yang lain dalam lingkungan kata kerja, dan dengan sendirinya tidak ada hubungan bahwa arti kata high-hendedness bergantung pada kata never atau sebaliknya).
Pada dasawarsa terakhir dan selanjutnya pendekatan Saussure menjadi suatu bahan pembicaraan yang hangat karena adanya pendapat yang dilontarkan Noam Chomsky. Salah satu ciri atau isi yang paling berpengaruh dari pendekatan Chomsky terhadap bahasa ialah perbedaan yang dibuatnya antara competence dan perfomence, suatu perbedaan yang mengingatkan antara langue dengan parole menurut Saussure. Menurut Chomsky dan seperti pendahulu-pendahulu dari amerika, idiolek masing-masing individu ialah yang utama. Bahasa suatu lingkungan yang lebih luas atau bangsa merupakan konsep yang kedua, suatu cara yang lebih mudah untuk competence linguistik individu yang jumlahnya besar dan serupa kecuali untuk hal-hal kecil.
Ahli filsafat Hilary Putnam  mengemukakan pendapat bahwa deskripsi bahasa tidak hanya masalah rasa melainkan juga struktur semantis yang harus dianggap sebagai faktor social dan bukan faktor psikologis. Semantic adalah suatu bab yang menuntut kita mengembangkan pikiran kalau kita perlu mengatakan apa pun yang berarti.
Masih ada lagi permasalahan lebih lanjut tentang perbedaan antara parole dengan langue, dan dalam hal ini posisi Saussure sulit dipertahankan. Kumpulan unit yang mempunyai arti yang sekarang kita sebut morfem, walaupun Saussure tidak menamakannya demikian, dengan nilai yang ditentukan oleh perbedaan dalam paradigmatiknya berarti sistem yang oleh Saussure disebut langue. Tapi bila kita berbicara, kita mengamati morfem-morfem itu dalam urutan: kata, frase, dan kalimat. Sementara masyarakat linguistik memungkinkan penuturnya mengetahui sistem morfem yang berbeda, tampaknya kita hampir tidak dapat mengira bahwa masyarakat dapat membuat sistem kalimat yang berbeda; kalimat-kalimat dalam suatu bahasa tidak membentuk perangkat yang terbatas (seperti kosakata dan morfem), melainkan terdapat kemungkinan yang tidak terbatas dan masing-masing penutur biasanya membuat/ menciptakan urutan yang baru dari persediaan morfem yang sudah siap setiap kali ia berbicara, dan tidak memilih salah satu morfem dari serentang kalimat yang diberikan sebelumnya. Jadi bagi Saussure tampak bahwa pembentukan kalimat (sintaks) merupakan bidang parole dan bukan langue, dan oleh karena itu bukan bidangnya linguistik.
Penguasaan Saussure mengenai sintaks terhadap parole bukan terhadap langue dihubungkan dengan masalah struktur linguistik sebagai fakta sosial dan bukan fakta psikologi. Karena Saussure menganggap bahasa sebagai faktor yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, maka bahasa dianggapnya sebagai suatu sistem tanda dan bukan sistem kalimat. Kalimat merupakan wujud dalam penggunaan bahasa oleh penuturnya secara individu, karena itu merupakan masalah parole dan bukan langue. Sebaliknya, karena Saussure berpendapat bahwa bahasa adalah sistem tanda, ia harus berfikir menurut bidang sosiologi
ALIRAN DESKRIPTIF
Franz Boas dilahirkan di Westphalia, dia memulai karir akademisnya sebagai mahasiswa fisika dan geografi, dan memulai bidang yang kedua itulah ia memasukkan bidang antropologi. Kunci dasar pemikiran Boas terletak pada kesadarannya yang muncul dalam masa perjalanannya (ke Tanah Baffin), yang berlawanan dengan apa yang dia dan para ahli lainnya duga. Antropologi bukan merupakan cabang geografi, karena kebudayaan suatu masyarakat bukan hanya satu fungsi keadaan material masyarakat itu, dan ilmu pengetahuan tentang manusia sangat berbeda dengan ilmu pengetahuan alam baik dalam hal isi maupun metodenya.
Aliran deskriptif bertujuan untuk memikirkan pembuatan teori linguistik yang abstrak sebagai alat untuk menyelesaikan deskripsi bahasa-bahasa tertentu dengan praktis dan sukses, dan tidak tentang bahasa-bahasa individu sebagai sumber data untuk penyusunan teori umum bahasa.
Salah satu ciri dari aliran yang dipelopori oleh Boas adalah relativisme. Menurut aliran itu tidak ada bahasa yang ideal, dimana bahasa-bahasa yang sebenarnya lebih dekat atau agak jauh hubungannya. Boas berusaha keras membantah aliran Romantisme abad XIX yang menganggap bahwa bahasa adalah kerangka dari jiwa suatu bangsa, bahwa bangsa dalam arti keturunan, bahasa dan kebudayaan adalah tiga masalah terpisah yang jelas berjalan bersama-sama. Banyak sekali kasus yang sudah diketahui karena perjalanan sejarah, yaitu adanya kelompok-kelompok yang termasuk dalam ras yang sama berbicara dalam bahasa yang tidak ada hubungannya, atau satu bahasa diucapkan oleh orang-orang dari berbagai ras yang berbeda, dengan cara yang sama dari suatu kelompok atau rumpun bahasa termasuk dalam kelompok-kelompok kebudayaannya berbeda, atau sebaliknya.
Kita telah tahu Saussure menyatakan bahwa suatu bahasa menimbulkan suatu proses penyusunan yang arbitrer terhadap daerah bunyi dan arti yang tersusun secara intrinsik. Boas menunjukkan bagaimana gejala ini menimbulkan pemunculan yang salah dari keprimitifan dalam bahasa yang dalam kenyataannya dapat dibandingkan dengan bahasa kita (Inggris). Karena sering dalam abad XIX dirasakan bahwa sementara bahasa-bahasa Eropa menggunakan jumlah yang sudah pasti dari bunyi-bunyi yang sudah tertentu, sedangkan bunyi-bunyi dalam bahasa-bahasa primitive masih belum tetap dan bermacam-macam sehingga suatu ketika mungkin saat ini diucapkan dengan bunyi yang berbeda dengan saat yang lain. Dalam artikel linguistiknya yang pertama, pada tahun 1889 Boas menjelaskan latar belakang keadaan itu. Pertama ialah karena mulut manusia dapat membuat bunyi yang jumlahnya lebih dari alphabet yang ada dalam huruf Romawi; jika suatu bahasa yang masih asing memiliki suatu bunyi yang terletak diantara dua buah bunyi yang sudah dikenal bagi orang Eropa, maka orang tersebut akan mendengar bunyi yang masih asing itu sebagai bunyi yang terletak diantara kedua bunyi yang sudah dikenal tadi. Yang kedua, bahasa-bahasa yang masih asing, seperti halnya bahasa-bahasa Eropa memiliki kelompok-kelompok alofon yang berada dalam distributive komplementer (complementary distribution), seperti bunyi [ Iw ] velar dan [ I ] biasa dalam RP adalah dalam distribusi komplementer. Kita masing-masing telah mencoba mengabaikan perbedaan-perbedaan diantara alofon-alofon dalam bahasa kita yang perbedaannya dalam bahasa yang masih asing itu dapat kita lihat dari perbedaannya yang bagi kita merupakan perbedaan fonemis, sehingga bahasa yang masih asing itu kita terima sebagai rangkaian bunyi yang terpisah-pisah dengan cara yang tidak rasional.
Seorang yang sekarang dianggap tokoh aliran deskriptif ini yang karyanya lebih banyak dibaca daripada karya Boas sendiri ialah Leonard Bloomfield (1887-1949). Leonard Bloomfield adalah kemenakan tokoh ahli bahasa historis Amerika, Maurice Bloomfield. Buku yang menjadikannya ia terkenal yaitu “Language” terbit pada tahun 1933. Bloomfield-lah yang menjadi penggerak pertama untuk berdirinya Masyarakat Linguistik Amerika (Linguistics Society of America) pada tahun 1914, tidaklah terlalu berlebihan apabila dikatakan bahwa hasil teorinya berisikan inovasi yang berarti. Yang baru dalam teori Bloomfield ialah adanya penekanan filosofis dalam status linguistik sebagai sains (ilmu).
Bloomfield tidak hanya secara pasif dipengaruhi oleh positivisme logika, tetapi menjadi tokoh aktif  bagi ide positivisme yang ditetapkan pada kajian tingkah laku manusia, termasuk bahasa. Ia menyumbangkan artikel tentang Linguistics Aspect of Science (1939) untuk jilid pertama International Encyclopedia of Unified Science, suatu proyek dibawah editor Otto Neurath yang kemudian bertujuan untuk menyusun rekonstruksi sistematis menurut prinsip positivisme mengenai dasar-dasar semua pengetahuan manusia. Bagi Bloomfield, linguistik adalah cabang psikologi, dan secara khusus cabang psikologi positivisme ini disebut behaviorisme.
Tentu saja ada kebaikan dan keburukan tentang behavorisme. Tentang kebaikannya, behavorisme merupakan dasar untuk metode ilmiah, yaitu suatu aturan yang menyatakan bahwa sesuatu yang dapat digunakan untuk menerima atau menolak sesuatu teori ilmiah hanyalah fenomena yang dapat diamati oleh orang lain atau bukan, katakanlah introspeksi atau intuisi seseorang yang sebagian di antaranya tidak dapat dikalahkan oleh pemiliknya, namun semuanya secara intrinsik bersifat pribadi bagi masing-masing individu dan tidak dimiliki oleh individu yang lain. Dalam beberapa hal metodologi behaviorisme lebih mudah diterima oleh ahli bahasa daripada oleh ahli psikologi. Karena masalah bahasa lebih jelas daipada masalah psikologi seperti emosi atau persepsi sehingga akan terdapat pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab hanya dengan bukti-bukti yang dapat diobservasi saja.
Bagi Bloomfield, untuk menganalisis masalah arti dalam satu bahasa ialah menunjukkan stimuli apa yang dapat menimbulkan ujaran yang dapat diucapkan sebagai responnya, dan respon tingkah laku apa yang muncul karena stimuli yang diberikan. Yang dimaksud oleh Bloomfield dengan stimuli internal yang tidak jelas mengacu kepada kegiatan mental dengan nama lain atau juga yang lain meskipun hanya berupa lambaian tangan dalam mempertahankan sesuatu yang tidak dapat dipertahankan.
Ada satu yang sulit untuk membicarakan berbagai hal tentang teori bahasa menurut aliran deskriptivisme. Suatu teori ialah sesuatu yang memusatkan pada faktor-faktor yang konstan dalam serangkaian fenomena dan mengabaikan sifat-sifat yang dimiliki oleh keadaan tertentu. Seseorang tak akan terlalu menyimpang dari analisisnya terhadap suatu bahasa yang belum dikenal bila ia memulainya dengan berasumsi bahwa struktur bahasa tersebut sangat mirip seperti bahasa Inggris atau Latin, dan kebutuhan kaum deskriptivis ialah mengatasi praduga yang diwarisinya tentang bagaimana bahasa itu sebenarnya dan tidak membuat praduga yang baru.
Prinsip penyimpangan tak terbatas bukan hanya pembaruan antara strategi heuristik dengan dalil teoritis. Bagi Boas bahasa adalah ciptaan akal manusia dan bukan ciptaan lingkungan fisik, sehingga tidak ada lagi pembatasan pada penyimpangan bahasa dari pembatasan dalam penyimpangan imajinasi manusia. Sebagai contoh misalnya salah satu masalah dalam fonologi bahasa Cina yang dibahas oleh Y.R. Chao dalam suatu artikel mengenai “Ketidakunikan Pemecahan Fonemis tentang Sistem Fonetis” (The Non-Uniquiness of Photonemic Solution of Phonetic System, 1934). Bahasa Cina Mandarin memiliki bunyi frikatif alveolo-palatal [ ç ], dengan distribusi yang sangat terbatas, yaitu terdapat di depan vokal depan tertutup [ i I y Y ]. Konsonan bahasa Mandarin yang lain, misalnya [ p ], [ l ], dapat terletak di depan berbagai vokal yang lain. Ahli bahasa deskriptivis yang menghadapi masalah ini akan segera menyatakan bahwa [ ç ] mungkin merupakan salah satu alofon dari suatu fonem yang secara keseluruhan mempunyai distribusi yang serupa dengan distribusi konsonan yang selalu berubah-ubah , kemudian ia akan mencari-cari bunyi konsonan lain yang mempunyai komplementer dengan [ ç ]. Misalnya ialah, bahwa bahasa Mandarin tidak hanya memiliki satu alofon frikatif itu melainkan ia mempunyai tiga macam konsonan yaitu frikatif alveolar, restroflek, dan velar [ s ÅŸ x ] yang terjadi di depan semua vokal selain vokal depan tertutup. Misalnya dalam kata [ sÅ« ] “Soviet” berbeda dengan [ ÅŸÅ« ] “buku” dan dengan [ x Å« ] “mengeluarkan nafas”, namun tidak terdapat bunyi*[ çū ], ada bunyi [ çī ] “barat,” tapi tidak terdapat  *[ sÄ« ], *[ ÅŸÄ« ], dan *[ xÄ« ]. Jadi jadi kita tidak dapat menghubungkan secara fonemis [ ç ] dengan lebih dari satu di antara ketiga bunyi frikatif tersebut di atas, karena bunyi-bunyi frikatif tersebut saling berlawanan.
Pandangan linguistik umum yang berfungsi sebagai teknik dan bukan sekedar sebagai teori perlu dihargai karena telah mencerminkan keinginan pihak ahli bahasa untuk membebaskan diri mereka dari kecurigaan terhadap cirri-ciri bahasa yang diturunkan dari doktrin tradisional atau dari sifat-sifat bahasa ibu mereka. Namun hal itu tidak begitu tampak dalam karya sebagian sarjana selama masa-masa terakhir aliran deskriptif, yang tetap berpegang pada pendapat bahwa informasi dalam linguistik adalah untuk menyatakan prosedur yang dapat diterapkan untuk memperoleh tatabahasa yang benar dari suatu bahasa.
HIPOTESIS SAPIR-WHORF
Apa yang dibicarakan dalam bab ini bukan merupakan suatu aliran yang sangat terkenal baik secara geografis maupun secara kronologis, tetapi merupakan suatu ide yang telah menarik perhatian para ahli bahasa dari berbagai aliran dan bagi mereka yang belum banyak belajar tentang bahasa dalam arti yang sesungguhnya. Menurut gagasan ini bahwa bahasa menghasilkan persepsi realitas manusia, atau dunia yang ditempati manusia itu merupakan bentukan linguistik, walaupun dalam satu bentuk atau yang lain sudah kuno, banyak dihubungkan dengan nama-nama orang Amerika, seperti Edward Sapir dan Benyamin Lee Whorf, khususnya dengan Whorf.
Dalam permasalahan yang dibahas dalam bab ini, Sapir tidak berdiri sendiri. Munculnya nama Sapir dalam judul hipotesis Sapir-Whorf barangkali disebabkan oleh fakta bahwa Whorf mengambil pendekatan yang umum terhadap bahasa dari Sapir bukan karena Sapir sebagai pelopor yang kuat dalam penyusunan hipotesis itu. Istilah hipotesis Sapir-Whorf itu diperkenalkan oleh J.B. Carrol. Dalam bukunya yang terkenal, Sapir mengemukakan bahwa perbedaan antara bahasa semata-mata merupakan perbedaan dalam modus untuk menyatakan pengalaman umum, dan bukan mengacu ke perbedaan dalam pengalaman itu sendiri. Namun Sapir mengubah pendiriannya. Untuk itu dapat dilihat pendapat Sapir berikut :
Makhluk manusia tidak hidup sendiri di dunia yang sesungguhnya, dan juga tidak sendiri di dalam kegiatan sosial sebagaimana kita ketahui, melainkan juga karena adanya bahasa tertentu yang menjadi perantara ekspresi bagi masyarakat. Akan merupakan suatu ilusi saja kalau menganggap bahwa seseorang menyesuaikan daripada realitas tanpa menggunakan bahasa dan menganggap juga bahwa bahasa merupakan suatu alat yang kebetulan dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan dalam komunikasi atau pencerminannya. Fakta yang membenarkan hal itu ialah bahwa “dunia yang sesungguhnya” terbentuk sebagian hal karena adanya kebiasaan berbahasa dari kelompok-kelompok manusia. Tidak ada dua bahasa yang serupa dianggap mewakili realitas sosial yang sama. Dunia tempat masyarakat yang berbeda tinggal merupakan dunia-dunia yang berbeda dan bukan hanya merupakan suatu dunia yang diberi cap berbeda.
Bahasa tidak hanya menunjuk pada pengalaman yang sebagian besar diperoleh melalui bantuan bahasa, tetapi sesungguhnya bahasa menentukan pengalaman bagi kita karena kelengkapannya yang formal dan karena proyeksi kita yang tak sadar akan pengeterapan bahasa itu pada bidang pengalaman kita. Kategori-kategori semacam hal jumlah (number), jenis kelamin (gender), kasus (case), tense (waktu) tidak begitu saja terdapat dalam pengalaman kita seperti karena adanya pendapat bahwa bentuk-bentuk linguistik ada karena orientasi kita terhadap dunia.
Benjamin Lee Whorf, keturunan imigran Inggris abad XVII ke Masachusets, merupakan seorang sarjana amatir yang brilian. Setelah mendapat gelar dalam teknik kimia, ia memulai karirnya yang berhasil sebagai inspektur pencegah kebakaran dalam suatu perusahaan di Hartford, Connecticut. Walaupun ia mendapat berbagai tawaran jabatan di perguruan tinggi ia terus melanjutkan pekerjaannya (Whorf belajar bahasa dari profesinya yang berpendapat bahwa pandangan dunia ditimbulkan oleh adanya bahasa.
Whorf menyatakan bahwa hanya kategori gramatikal tertentu saja dalam suatu bahasa yang memiliki tanda yang terbuka, misalnya perbedaan antara “present” dengan “past tense” yang ditunjukkan oleh kata kerja utama dalam bahasa Inggris. Selain itu ada juga kategori yang tersembunyi atau oleh Whorf disebut kriptotipe. Sebagai contoh: Nama-nama kota dan daerah dalam bahasa Inggris membentuk kriptotipe, karena walaupun nama-nama itu dari luar mempunyai bentuk kata benda, namun kata-kata tersebut tidak dapat diubah menjadi kata ganti bila terletak di belakang kata depan in, at, to, from. Orang dapat mengatakan I live in it bila kata it mengacu pada frase that house atau basement, tapi tidak dapat mengacu pada kata-kata seperti Kendal atau Bulgaria, walaupun kalimat I live in Kendal atau I live in Bulgaria jelas betul. Whorf menganggap bahwa kategori yang tersembunyi itu menggambarkan pembentukan pandangan penuturnya, dengan alasan bahwa penggunaan tanda yang terbukadapat dipelajari dalam hati, sedangkan kriptotipe dapat ditimbulkan secara tepat jika kategori yang terkandung di dalamnya merupakan hal yang nyata bagi penuturnya.
Bahasa Hopi dapat dianggap sebagai yang tidak memiliki waktu, bahasa ini tidak menganggap waktu sebagai dimensi linier yang dapat diukur dan dibagi menjadi unit-unit seperti dimensi jarak, sehingga bahasa Hopi tidak pernah meminjam istilah jarak untuk mengacu ke fenomena sementara yang merupakan cara yang umum dalm bahasa Eropa, demikian juga bahasa Hopi tidak pernah menyatakan seperti five days karena hari tidak sama seperti buah apel yang dapat dimiliki satu atau lebih. Selanjutnya, bahasa Hopi tidak tidak memiliki “tenses” seperti kebanyakan terdapat dalam bahasa Eropa. Bahasa Hopi tidak memiliki kata untuk menyatakan “cepat,” sedangkan ekivalensi yang paling dekat dengan kalimat Ia berlari cepat mungkin akan berbunyi Ia paling/sangat lari. Jika suku Hopi dapat mengembangkan teori-teori ilmiah, maka menurut Whorf, fisika modern akan jauh berbeda dengan apa yang ada sekarang, walaupun mungkin sama-sama memuaskan bagi kita.
Max Black mengemukakan pendapatnya tentang keberatan terhadap penafsiran pemikiran bahasa Hopi, ia menyatakan bahwa pendapat Whorf di atas tidak dapat diuji kebenarannya, oleh karena itu tidak berisi apa-apa. Ia berpendapat bahwa suku Hopi sebenarnya memiliki konsep waktu yang sama seperti ia miliki, hanya saja menggunakan frasa yang berbeda untuk menyatakannya. Mereka menggunakan he very runs untuk menyatakan He runs fast, apa yang mereka maksudkan dengan kalimat itu sama saja dengan maksud kita.
Ada tanggapan keberatan yang dikemukakan oleh Black di atas. Pertama ialah mungkin memang ada aspek tingkah laku orang Hopi yang dapat diamati yang berhubungan dengan sikap hidupnya yang tidak mengenal masalah waktu, bandingkan dengan Whorf. Penulis pernah membaca bahwa orang-orang Indian di daerah pemukimannya di bagian barat daya Amerika Serikat (sayang penulis tidak ingat apakah pemukiman itu ditujukan untuk suku Hopi utamanya) mendapatka kesulitan dalam memperoleh pekerjaan bidang orang kulit putih karena mereka tidak biasa menjadi langganan bis dan menempati jadwalnya, kenyataan hal ini menjadi bukti untuk pendapat Whorf. Memang mereka yang skeptis dapat menunjukkan bahwa sebagian orang Inggris pun dapat memiliki masalah seperti itu, dan kita tidak dapat mengarahkan hal-hal ini sebagai filsafat waktu yang tidak baku. Tapi bila para skeptif membantah bahwa sebab-sebab orang Indian tidak mau dan bukan karena masalah yang berhubungan dengan waktu, mungkin hal ini merupakan hal kebetulan yang tidak wajar dimiliki oleh masyarakat yang enggan tadi dan yang juga berbahasa dengan memperlakukan hal waktu secara tidak wajar.
Walaupun bukti yang independen hanya mendukung sedikit saja pada pendapat Whorf, penulis yakin bahwa keberatan Black di atas salah. Mungkin salah dalam menerima, yaitu karena adanya kata hipotesis dalam teori Whorf, bahwa kata itu harus diinterpretasikan sebagai teori ilmiah yang memungkinkan untuk diuji dengan data yang dapat diobservasi. Ludwig Wittgenstein dalam tulisannya mengemukakan bahwa pendapat yang serupa dengan Whorf tentang saling bergantung pendapat dan bahasa, Wittgenstein jelas hanya dapat menyuruh agar teorinya dianggap benar, tapi tidak dapat menunjukkan mengapa demikian, ironisnya sementara Black menyerang hipotesis Whorf yang tidak dapat diuji, ia mendukung filsafat Wittgenstein yang tidak dapat diuji juga. Kelemahan Whorf (walaupun buan Wittgeinstein) ialah karena ketidakmampuannya memberikan perubahan pandangan dunia yang terjadi dalam lingkungan linguistik.
Seorang ahli antropologi Perancis Lucien Levy-Bruhl (1857-1939) mengemukakan pndapatnya: dia tidak menganggap Bahasa Umum Standard Eropa (Standard Average European) sebagai satu di antara berbagai macam konsep, tetapi ia yakin bahwa pola berpikir semua manusia primitif serupa bila dibandingkan dengan pola berpikir manusia yang beradap. Levy-Bruhl tidak menyatakan bahwa perbedaan antara orang primitif dan beradap tajam sekali, tapi perbedaan pikiran manusia menduduki perbedaan tempat dalam satu ukuran. Aspek terpenting dari perbedaan tipe mental ialah masalah logika :menurut Levy – Bruhl, pikiran primitive tidak mengenal hukum non-kontradiksi. Levy-Bruhl menyatakan bahwa sebaliknya orang primitif meyakini kontrakdiksi itu karena masing – masing pihak dimengerti apa adanya dan jelas.
Menurut penulis, penjelasan Levy – Bruhl untuk penemuan seperti oleh von den Steinen tersebut kurang memuaskan, karena satu hal bahwa hal semacam itu mudah saja dibalik-hadapkan dengan mentalitas orang beradab.
Tidak ada artinya bagi kita untuk menyatakan bahwa seorang primitif atau biadab ( siapapun juga ) yakin akan kontradiksi itu, karena untuk meyakini teori apapun menurut pemahaman, dan untuk memahami kontrakdiksi ialah harus mengetahui bahwa kontradiksi itu salah. Penulis tidak menyatakan bahwa non den Steinen atau Levy – Buhrl salah paham dalam menerjamahkan kata dari bahasa Baroro. Mungkin saja mereka menerjemahkan dengan betul pernyataan dalam bahasa Baroro. Tapi teori Baroro adalah adalah teori yang tidak mengikuti hal itu, seperti halnya teori kita bahwa penglihatan pada intan tidak membuat kita berkesimpulan.
Penulis menyatakan bahwa hipotesis perihal di atas kurang penting karena hal itu mengacu pada kategorisasi yang ditujukkan oleh berbagai bahasa untuk fenonema yang konkrit dan dapat diamati, karena contoh perbedaan seperti itu sudah banyak dikenal orang dan aspek hipotesis itu dibantah lagi. Dan satu kesimpulan lagi bahwa warna merupakan bidang yang sesuai dengan hipotesis Whorf, dan mungkin yang paling cocok. Warna merupakan sifat yang paling mudah diamati daripada data indra.
Tidak semua bahasa memliki masing – masing kesebelas warna universal ini ; bahasa yang memiliki kesebelas kata ini cenderung untuk di golongkan sebagai bahasa dari perdaban yang tekhnologinya maju, sedangkan suku – suku yang primitif memiliki nama – nama warna yang lebih sedikit. Berlin dan Kay melanjutkan untuk menunjukkan bahwa ada pembentukan pola sehingga warna universal itu termasuk di dalam sistem yang sederhana.

PARIKAN & WANGSALAN


PARIKAN
Parikan yaiku unen-unen jawa sing nganggo purwakanthi (sajak) swara. Parikan dumadi saka rong ukara. Ukara kapisan minangka pancadan utawa kanggo narik kawigaten (kapacak ing ngarep), dene sing kapindho minangka isi utawa mawa teges kang dikarepake (ukara pungkasan). Parikan ing basa Indonesia kayadene pantun. Purwakanthi parikan bisa digawe adhedhasar petungan wanda (suku kata) lan tibane swara.
. Ciri – cirining parikan :
  1.  Nduweni purwakanthi ab-ab
  2.  Yen kedadeyan saka rong baris, baris kapisan sampiran lan baring kapindho isi. Nanging yen dumadi saka patang baris, baris 1-2 sampiran, baris 3-4 kasebut isi. 
  3. Pedhotane parikan ana sing 4 – 4 lan 4 – 8 ( kanggo sing rong larik), 8-8 (kanggo sing patang larik). Pedhotan tugase gunggunge wanda saben sak gatra.
  4. Guna paedahe parikan kanggo nasihat , nyemoni, utawa gojegkan ana ing pacelathon.
Adhedhasar purwakanthi swara, parikan ana 3 werna.
  • Parikan (4 wanda + 4 wanda) X 2
               Tuladha           : Wajik Kletik, gula jawa
   Luwih becik, sing prasaja


  • Parikan (4 wanda + 8 wanda) X 2
               Tuladha           : Kembang kencur, ganda sedhep sandhing sumur
                                        Kudu jujur, yen kowe kepengin luhur


  • Parikan (8 wanda + 8 wanda) X 2
              Tuladha           : Gawe cao nangka sabrang, kurang setrup luwih banyu
                                       Aja awatak gumampang, ingatase calon guru



WANGSALAN
Wangsalan yaiku ukara kang ngemot batangan utawa bedhekan. Saperangane tembung ana kang didhelikake tegese utawa karepe. Tembung kang didhelikake iki minangka tegese utawa karepe.
Tembung-tembung bedhekan iki biasane dumadi saka jeneng-jeneng kewan, kembang, perangane barang, utawa wit-witan kang madha swara karo batangane. Anggone negesi kanthi diuthak-athik gathuk, jumbuh karo teges ukara sawutuhe. 
Tuladha Wangsalan :

  • Wah, kok njanur gunung, kadingaren njenengan tindak mriki.                                                               (janur gunung = aren : kadingaren) 
  • Bocah cilik ora pareng ngrokok cendhak, saru kuwi kok neges – negesi barang.                        (rokok cedhak = tegese : neges – neges)
3.      Aja njenang gula lho, le, yen diutus ibu, mengko awakmu lali.
(jenang gula = gali : lali)
4.      Esuk – esuk kok wis nggodhong garing, kepenak tenan anggone nglaras.
(godhong garing, ethok – ethok ora ngerti yen disapa)
5.      Mbalung klapa, ethok – ethok ora ngerti yen disapa.
(balung klapa = bathok  = ethok – ethok)