Sabtu, 24 Mei 2014

PAKUBUWANA IX: MORAL SPIRITUAL DALAM SERAT WULANG PUTRI WIRA ISWARA




Membahas sosok Pakubuwana IX tak lepas dengan sejarahnya dengan keraton Surakarta. Pakubuwana IX dengan nama asli Raden Mas Duksino adalah putra dari Pakubuwana VI. Ia lahir pada tanggal 22 Desember 1830. Setelah dewasa, Raden Mas Duksino bergelar KGPH. Prabuwijaya. Pakubuwana IX naik takhta menggantikan Pakubuwana VIII (paman ayahnya) pada tanggal 30 Desember 1861. Pemerintahannya ini banyak dilukiskan oleh Ronggowarsito dalam karya-karya sastranya, misalnya dalam Serat Kalatida. Pada karyanya Rongowarsito memuji Pakubuwana IX sebagai raja bijaksana, namun dikelilingi para pejabat yang suka menjilat mencari keuntungan pribadi. Zaman itu disebutnya sebagai Zaman Edan. Pada masa menjabat menjadi raja Pakubuwana IX telah banyak berjasa pada kemajuan keraton Surakarta. Bangunan fisik Keraton Surakarta banyak yang direnovasi, seperti Siti Hinggil, Panggung Sangga Buwana, dan lain-lain, sehingga ia juga terkenal dengan sebutan Sinuhun Bangun Kadhaton. Sebagai seorang raja, Pakubuwana IX juga aktif menulis karya sastra, di antaranya Serat Wulang Putri, Serat Jayeng Sastra, Serat Menak Cina, Serat Wirayatna, dan beberapa karya sastra lainnya.
Karya-karya Pakubuwana IX banyak yang terkenal karena isinya merupakan ajaran-ajaran atau pedoman dalah kehidupan sehari-hari. Salah satu karyanya yaitu Serat Wulang Putri. Secara garis besar, kandungan serat Wulang Putri tersebut memuat ajaran-ajaran yang sarat dengan nasehat diantaranya: 1). Diingatkan agar para putri memiliki kepercayaan yang teguh terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dinasehatkan agar senantiasa berikhtiar semaksimal mungkin dan memiliki keteguhan iman yang kuat dalam menjalani kehidupan ini. 2). Agar para putri (PB. IX) mempunyai budi pekerti yang luhur dengan memiliki kekuatan mental yang akan menopang segala sesuatu yang akan ditindaknya, dengan mempertimbangkan segala sesuatunya secara bijaksana dan han-han. 3). Dijelaskan tentang macam-macam kebahagiaan hidup, dan laku yang hendaknya ditempuh guna mencapainya adalah dengan jalan tapa brata, guna membersihkan dari pikiran dan perbuatan yang tidak baik, ammoral. Isi dari serat tersebut sangatlah baik jika diterapkan pada kehidupan sehari-hari, karena merupakan pitutur untuk kaum wanita dalam pencapaian jati diri yang baik dan luhur.
Di dalam Serat Wulang Putri terdapat beberapa naskah yang salah satnya yaitu Serat Wulang Putri Wira Iswara. Serat tersebut adalah sebuah tembang Jawa yang merupakan nilai moral lama dalam masyarakat Jawa. Serat ini berisi tentang bagaimana kriteria wanita ideal pada zaman itu. Dijelaskan bahwa kedudukan wanita dalm serat ini adalah dibawah kedudukan pria. Maksud dari penjelasan itu bertujuan untuk tidak menjadikan wanita bertindak melebihi apa yang dilakukan oleh para kaum pria. Dalam falsafah jawa wanita itu harus wani ditata (mau diatur) dan hanya sebagai rencang wingking (pembantu). Kaum wanita diposisikan sedemikian rupa guna terciptanya suatu tatanan dan pranata sosial yang disiplin, mengingat sangat tingginya nilai moralitas dan etika dalam kultur dan falsafah Jawa. Kelemah lembutan yang dimiliki dan harus ada pada wanita Jawa telah dikenal berbagai kalangan, yang bila kita mampu mencermati di dalam kelemah lembutannya wanita bisa memperlihatkan dirinya (sebagai ego), derajat, kedudukannya, dan jati dirinya.
Wanita Jawa pada khusunya, memiliki peranan yang sangat unik dalam mengekspresikan kodrat-kemampuannya. Ia akan menelusuri perjalanan hidupnya seiring dan sejalan dengan peradaban yang realitas sosialnya sarat dengan nilai moralitas yang sangat tinggi. Perangai wanita akan sangat menentukan bagaimana masyarakat akan menilainya, dan wanita Jawa akan mampu menghargai dirinya dengan juga menghargai adat moral budayanya.
Nilai moral spiritual yang tercermin pada Serat Wulang Putri Wira Iswara adalah dengan melihat bagaimana wanita Jawa mengolag rasa, cipta, dan karsanyadalam usaha penyerahan dirinya kepada kekuatan yang tak mampu terjangkau oleh apapun ‘tan kena kinaya ngapa’, yaitu Sang Hyang Maha Mutlak. Semua itu dengan tujuan mewujudkan insan yang suci atau tingkat manusia yang utama pada umumnya. Dalam hal ini pada citra wanita utama khususnya, yaitu membentuk kepribadian wanita yang memiliki jiwa sosial, bermoral yang dilandasi oleh semangat spiritualitas jiwa keagamaan. Dengan mengkaji naskah Serat Wulang Putri Wira Iswara karya Pakubuwana IX, yang pada masa itu ditujukan kepada putri-putrinya sebagai nasehat dan pengajaran bagi wanita guna memperlancar tugas-tugas yang akan diemban dalam hidupnya.
Era yang baru.
Dikehidupan dengan era globalisasi saat ini, semua teori atau pandangan yang berisikan pitutur atau bahkan tuntunan hidup bagi wanita dalam mencapai kesempurnaannya telah dipatahkan. Yang dulunya seorang wanita itu hanya sebagai pelengkap dalam kehidupan kaum pria, yang juga derajatnya selalu di bawah dari kaum pria kini telah berubah begitu derastis. Mungkin hal itu dilandasi oleh tokoh pejuang bangsa wanita asal Jepara yaitu R.A Kartini. Ia lah yang menjadi tokoh emansipasi wanita bagi kehidupan saat ini. Pada nyatanya banyak kaum wanita yang derajatnya sejajar dengan kaum pria, misalnya dalam bekerja. Tak sedikit wanita sekarang yang menjadi tulang punggung keluarga walaupun masih mempunyai suami yang masih dalam keadaan sehat sekalipun. Kaum wanita di zaman yang modern saat ini juga sudah mulai sulit untuk diatur. Mereka cenderung ingin mengekspresikan jati dirinya dengan sebebas-bebasnya.
Banyak yang terjerumuskan karena keingin bebasan dalam berekspresi. Itu tak ubahnya menjadikan martabat kaum wanita begitu sangat rendah dikalangan masyarakat. Beberapa (kaum wanita) yang tak ikut dalam perkembangan zaman yang serba glamour ini ikut merasakan akibatnya. Itulah yang menjadikan miris sekali kehidupan kaum wanita pada saat ini. _CescAS

1 komentar: