Membahas sosok Pakubuwana IX tak lepas dengan
sejarahnya dengan keraton Surakarta. Pakubuwana IX dengan nama asli Raden Mas
Duksino adalah putra dari Pakubuwana VI. Ia lahir pada tanggal 22 Desember
1830. Setelah dewasa,
Raden Mas Duksino bergelar KGPH. Prabuwijaya. Pakubuwana IX naik takhta
menggantikan Pakubuwana VIII (paman ayahnya) pada tanggal 30 Desember
1861. Pemerintahannya ini
banyak dilukiskan oleh Ronggowarsito dalam karya-karya sastranya,
misalnya dalam Serat Kalatida. Pada karyanya Rongowarsito
memuji Pakubuwana IX sebagai raja bijaksana, namun dikelilingi para pejabat
yang suka menjilat mencari keuntungan pribadi. Zaman itu disebutnya sebagai Zaman
Edan. Pada masa menjabat menjadi
raja Pakubuwana IX telah banyak berjasa pada kemajuan keraton Surakarta. Bangunan
fisik Keraton Surakarta banyak yang direnovasi,
seperti Siti Hinggil, Panggung Sangga Buwana, dan lain-lain, sehingga ia juga
terkenal dengan sebutan Sinuhun Bangun
Kadhaton. Sebagai seorang raja, Pakubuwana IX juga aktif menulis karya
sastra, di antaranya Serat Wulang Putri, Serat Jayeng Sastra, Serat Menak Cina,
Serat Wirayatna, dan beberapa karya sastra lainnya.
Karya-karya
Pakubuwana IX banyak yang terkenal karena isinya merupakan ajaran-ajaran atau
pedoman dalah kehidupan sehari-hari. Salah satu karyanya yaitu Serat Wulang
Putri. Secara garis besar, kandungan
serat Wulang Putri tersebut memuat ajaran-ajaran yang sarat dengan nasehat
diantaranya: 1). Diingatkan agar para putri memiliki kepercayaan yang teguh
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dinasehatkan agar senantiasa berikhtiar
semaksimal mungkin dan memiliki keteguhan iman yang kuat dalam menjalani
kehidupan ini. 2). Agar para putri (PB. IX) mempunyai budi pekerti yang luhur
dengan memiliki kekuatan mental yang akan menopang segala sesuatu yang akan
ditindaknya, dengan mempertimbangkan segala sesuatunya secara bijaksana dan
han-han. 3). Dijelaskan tentang macam-macam kebahagiaan hidup, dan laku yang
hendaknya ditempuh guna mencapainya adalah dengan jalan tapa brata, guna
membersihkan dari pikiran dan perbuatan yang tidak baik, ammoral. Isi dari
serat tersebut sangatlah baik jika diterapkan pada kehidupan sehari-hari,
karena merupakan pitutur untuk kaum wanita dalam pencapaian jati diri yang baik
dan luhur.
Di dalam Serat Wulang Putri terdapat beberapa naskah
yang salah satnya yaitu Serat Wulang Putri Wira Iswara. Serat tersebut adalah sebuah tembang Jawa yang merupakan nilai moral
lama dalam masyarakat Jawa. Serat ini berisi tentang bagaimana kriteria wanita ideal pada zaman itu. Dijelaskan
bahwa kedudukan wanita dalm serat ini adalah dibawah kedudukan pria.
Maksud dari penjelasan itu bertujuan untuk tidak menjadikan wanita bertindak
melebihi apa yang dilakukan oleh para kaum pria. Dalam falsafah jawa wanita itu
harus wani ditata (mau diatur) dan hanya
sebagai rencang wingking (pembantu).
Kaum wanita diposisikan sedemikian rupa guna terciptanya suatu tatanan dan
pranata sosial yang disiplin, mengingat sangat tingginya nilai moralitas dan
etika dalam kultur dan falsafah Jawa. Kelemah lembutan yang dimiliki dan harus
ada pada wanita Jawa telah dikenal berbagai kalangan, yang bila kita mampu
mencermati di dalam kelemah lembutannya wanita bisa memperlihatkan dirinya
(sebagai ego), derajat, kedudukannya, dan jati dirinya.
Wanita
Jawa pada khusunya, memiliki peranan yang sangat unik dalam mengekspresikan
kodrat-kemampuannya. Ia akan menelusuri perjalanan hidupnya seiring dan sejalan
dengan peradaban yang realitas sosialnya sarat dengan nilai moralitas yang
sangat tinggi. Perangai wanita akan sangat menentukan bagaimana masyarakat akan
menilainya, dan wanita Jawa akan mampu menghargai dirinya dengan juga
menghargai adat moral budayanya.
Nilai
moral spiritual yang tercermin pada Serat Wulang Putri Wira Iswara adalah
dengan melihat bagaimana wanita Jawa mengolag rasa, cipta, dan karsanyadalam
usaha penyerahan dirinya kepada kekuatan yang tak mampu terjangkau oleh apapun
‘tan kena kinaya ngapa’, yaitu Sang Hyang Maha Mutlak. Semua itu dengan tujuan
mewujudkan insan yang suci atau tingkat manusia yang utama pada umumnya. Dalam
hal ini pada citra wanita utama khususnya, yaitu membentuk kepribadian wanita
yang memiliki jiwa sosial, bermoral yang dilandasi oleh semangat spiritualitas
jiwa keagamaan. Dengan mengkaji naskah Serat Wulang Putri Wira Iswara karya
Pakubuwana IX, yang pada masa itu ditujukan kepada putri-putrinya sebagai
nasehat dan pengajaran bagi wanita guna memperlancar tugas-tugas yang akan
diemban dalam hidupnya.
Era
yang baru.
Dikehidupan
dengan era globalisasi saat ini, semua teori atau pandangan yang berisikan
pitutur atau bahkan tuntunan hidup bagi wanita dalam mencapai kesempurnaannya
telah dipatahkan. Yang dulunya seorang wanita itu hanya sebagai pelengkap dalam
kehidupan kaum pria, yang juga derajatnya selalu di bawah dari kaum pria kini
telah berubah begitu derastis. Mungkin hal itu dilandasi oleh tokoh pejuang
bangsa wanita asal Jepara yaitu R.A Kartini. Ia lah yang menjadi tokoh
emansipasi wanita bagi kehidupan saat ini. Pada nyatanya banyak kaum wanita
yang derajatnya sejajar dengan kaum pria, misalnya dalam bekerja. Tak sedikit
wanita sekarang yang menjadi tulang punggung keluarga walaupun masih mempunyai
suami yang masih dalam keadaan sehat sekalipun. Kaum wanita di zaman yang
modern saat ini juga sudah mulai sulit untuk diatur. Mereka cenderung ingin
mengekspresikan jati dirinya dengan sebebas-bebasnya.
Banyak
yang terjerumuskan karena keingin bebasan dalam berekspresi. Itu tak ubahnya
menjadikan martabat kaum wanita begitu sangat rendah dikalangan masyarakat.
Beberapa (kaum wanita) yang tak ikut dalam perkembangan zaman yang serba glamour ini ikut merasakan akibatnya. Itulah
yang menjadikan miris sekali kehidupan kaum wanita pada saat ini. _CescAS
pak, ada sumber referensinya kah ?
BalasHapus