ABSTRAK
Tradisi
kupatan (tradisi syawalan/ bada kupat) di Jepara merupakan tradisi yang selalu
dilakukan oleh masyarakat Jepara pada sepekan setelah hari raya Idul Fitri atau
pada tanggal 8 syawal di Pantai Kartini Jepara, dengan melarung kepala kerbau
ke tengah lautan. Maksud dari upacara
pelarungan ini adalah sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Allah, yang
melimpahkan rizki dan keselamatan kepada warga masyarakat nelayan selama
setahun dan berharap pula berkah untuk masa depan.Tujuan diadakannya Pesta
Lomban ini sebagai bentuk nyata peran Pemerintah Kabupaten Jepara dalam
melestarikan budaya lokal Jepara, dalam hal ini sekaligus event untuk
mempromosikan potensi wisata Kabupaten Jepara khususnya wisata budaya yang
dimiliki Kabupaten Jepara.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Setiap
tradisi yang mampu bertahan lama, pastilah melalui proses evolusi kebudayaan
yang panjang dan memiliki kesamaan akan historis. Evolusi yang diikuti
akulturasi itu, pada akhirnya menimbulkan keselarasan dan kecocokan dengan
masyarakat penganutnya. Begitu halnya dengan tradisi kupatan atau lomban di
Jepara.
Jepara yang
mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan memiliki tradisi warisan dari
para leluhur yang hingga kini masih disakralkan, yaitu Tradisi Syawalan
(kupatan) atau disebut juga Pesta Lomban. Pesta Lomban merupakan tradisi
tahunan yang sakral bagi masyarakat Jepara. Mereka menganggap ritual tersebut
sebagai penolak balak, dan bisa memberikan rasa aman dan nyaman dalam bekerja.
Pesta Lomban merupakan pesta masyarakat nelayan di wilayah
Kabupaten Jepara dalam bentuk sedekah laut. Namun kini sudah menjadi milik
keseluruhan masyarakat Jepara, bukan nelayan saja. Pesta ini merupakan puncak
acara dari Pekan Syawalan yang diselenggarakan pada tanggal 8 syawal atau 1
minggu setelah hari Raya Idul Fitri yang dirayakan di banyak daerah di Jawa
Tengah. Pusat perayaan ini berada di Pantai Kartini, Jepara, namun
bisa juga disaksikan di Ujung Gelam, Pantai Koin, Karimunjawa, serta beberapa
tempat yang di tentukan sebelumnya.
Tujuan
diadakannya Pesta Lomban ini sebagai bentuk nyata peran Pemerintah Kabupaten
Jepara dalam melestarikan budaya lokal Jepara, sebagai salah satu bentuk
kearifan lokal Jepara sekaligus event untuk mempromosikan potensi wisata Kabupaten
Jepara khususnya wisata budaya yang dimiliki Kabupaten Jepara.Tradisi ini biasa
disebut dengan “Bada Kupat”. karena pada saat itu masyarakat Jepara
merayakannya dengan memasak kupat (ketupat) dan lepet disertai rangkaian
masakan lain seperti : opor ayam, rendang daging, sambal goreng, oseng-oseng
dan lain-lain. Selain itu, sering pula disebut “ Pesta Lomban ” karena
merupakan puncak acara dari Pekan
Syawalan . Pesta Lomban terdiri dari sedekah laut, festival kupat lepet,
serta pesta Lomban itu sendiri.
1.2.Rumusan Masalah
1.
Apa makna tradisi kupatan (lomban) bagi masyarakat
Jepara ?
1.3.Tujuan
1.
Untuk mengetahui makna apa yang terkandung dalam
tradisi kupatan (Lomban) bagi masyarakat Jepara.
1.4.Metode
1.
Literatur yaitu dengan cara membaca buku referensi dan
dengan cara mencari sumber-sumber di internet.
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah Lomban oleh sebagian
masyarakat Jepara disebutkan dari kata “Lomba-lomba” yang berarti masyarakat
nelayan masa itu bersenang-senang melaksanakan lomba-lomba laut yang seperti
sekarang masih dilaksanakan setiap pesta Lomban, namun ada sebagian mengatakan
bahwa kata-kata lomban berasal dari kata “Lelumban” atau brsenang-senang.
Semuanya mempunyai makna yang sama yaitu merayakan hari raya dengan
bersenang-senang setelah berpuasa Ramadhan sebulan penuh. Yang pasti, bada
lomban merupakan momen bagi para nelayan untuk bersenang-senang dalam merayakan
Idul Fitri setelah menunaikan puasa sebulan penuh. Tidak hanya para nelayan,
anak-anak yang tinggal di sekitar pantai menyemarakkan pesta rakyat tersebut
dengan memakai baju warna-warni.
Selain pesta lomban, juga biasa
dikenal bada kupat. Kupat adalah makanan tradisional yang tidak asing lagi bagi
masyarakat khususnya masyarakat Jawa Tengah . Secara harfiah, ketupat (kupat) merupakan
jenis makanan yang dibuat dari pembungkus pelepah daun janur yang di dalamnya
berisi beras yang sudah matang. Ketupat ini hanyalah merupakan bentuk
simbolisasi yang bermakna hati putih yang dimiliki oleh seseorang yang kembali
suci.
Ketupat dalam bahasa Jawa berasal dari singkatan “Ngaku Lepat” yang berarti mengakui kesalahan. Maknanya, dengan tradisi ketupat diharapkan setiap orang mau mengakui kesalahan, sehingga memudahkan diri untuk memaafkan kesalahan orang lain. Singkatnya, semua dosa yang ada akan saling terlebur bersamaan dengan hari raya idul fitri. Selain itu ketupat mengandung empat makna yakni: lebar, lebur, luber dan labur. Lebar artinya luas, lebur artinya dosa atau kesalahan yang sudah diampuni, luber maknanya pemberian pahala yang berlebih, dan labur artinya wajah yang ceria. Secara keseluruhan bisa dimaknai sebagai suatu keadaan yang paling bahagia setelah segala dosa yang demikian besar diampuni untuk kembali menjadi orang yang suci dan bersih.
Ketupat dalam bahasa Jawa berasal dari singkatan “Ngaku Lepat” yang berarti mengakui kesalahan. Maknanya, dengan tradisi ketupat diharapkan setiap orang mau mengakui kesalahan, sehingga memudahkan diri untuk memaafkan kesalahan orang lain. Singkatnya, semua dosa yang ada akan saling terlebur bersamaan dengan hari raya idul fitri. Selain itu ketupat mengandung empat makna yakni: lebar, lebur, luber dan labur. Lebar artinya luas, lebur artinya dosa atau kesalahan yang sudah diampuni, luber maknanya pemberian pahala yang berlebih, dan labur artinya wajah yang ceria. Secara keseluruhan bisa dimaknai sebagai suatu keadaan yang paling bahagia setelah segala dosa yang demikian besar diampuni untuk kembali menjadi orang yang suci dan bersih.
Bentuk ketupat yakni segiempat,
menjdai simbol atau perwujudan cara pandang “kiblat papat lima pancer” yang
menegaskan adanya hamonisasi dan keseimbangan alam. Empat arah mata angin utama
yaitu timur, selatan, barat dan utara yang bertumpu pada satu pusat. Maknanya
adalah bahwa dalam kehidupan ini, ke arah manapun manusia melangkah hendaknya
tidak pernah melupakan pancer yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Maksud dari upacara pelarungan ini
adalah sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Allah, yang melimpahkan rizki
dan keselamatan kepada warga masyarakat nelayan selama setahun dan berharap
pula berkah dan hidayahnya untuk masa depan. Selain itu pelarungan ditujukan
sebagai salah satu bentuk rasa hormat kepada Yang Maha Penguasa ‘sing
mbaurekso’ sebagai ruh para leluhur yang mereka percaya dapat menjaga dan
melindunginya dari segala ancaman marabahaya dan mala petaka.
Tradisi upacara yang masih bertahan
dapat memberi gambaran bahwa masyarakat nelayan masih memegang teguh adat
istiadat yang diwarisi secara turun-temurun. Kepercayaan terhadap leluhur, roh
halus merupakan manifestasi keteguhan hati yang masih mengakar pada diri
nelayan Jepara dalam hal nguri-uri kebudayaan leluhurnya
BAB III
KESIMPULAN
Simpulan
Pesta Lomban merupakan tradisi yang
sakral bagi masyarakat Jepara hingga sekarang ini. Pesta Lomban juga sering
disebut bada kupat oleh masyarkat Jepara, karena dalam tradisi tersebut Kupat
merupakan simbolisasi yang bermakna hati putih yang dimiliki oleh seseorang
yang kembali suci. Makna dari tradisi yang dilaksanakan setiap satu tahun
sekali ini adalah sebagai wujud syukur atas nikmat dan hidayah yang diberikan
oleh Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan keselamatan dan keberkahan
kepada para nelayan dalam pekerjaannya melaut. Selain itu pelarungan ditujukan
sebagai salah satu bentuk rasa hormat kepada Yang Maha Penguasa ‘sing
mbaurekso’ sebagai ruh para leluhur yang mereka percaya dapat menjaga dan
melindunginya dari segala ancaman marabahaya dan mala petaka.
DAFTAR
PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
http://sosbud.kompasiana.com/2013/08/15/makna-dibalik-tradisi-kupatan-584377.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar